Solusi Tasawuf untuk Mengatasi Konflik: Saran untuk PBNU dan JATMAN



Saat ini kita menghadapi konflik banyak sekali di organisasi ulama yang juga organisasi aswaja di Indonesia. PKB-PBNU, Banser-Garda Bangsa, habaib vs kiai-kiai, dan baru saja kita saksikan sebagian ulama JATMAN ke PBNU. 

Dalam sebagian besar konflik ini kita saksikan saling ancam di medsos, show of force pengerahan masa, ghibah di medsos, saling mengintimidasi dengan menyatroni markas, membunuh karakter pihak yang berbeda, menggerakkan akar rumput untuk melakukan serupa, melupakan bahwa beliau adalah saudara kita, orang tua kita atau sesepuh kita. 

Cara-cara mengatasi konflik seperti diatas sangat tidak tepat, jauh dari akhlakul karimah.

Kita menyadari konflik banyak karena adanya disrupsi digital dan post truth telah menggoncang fondasi-fondasi nilai-nilai kita, prinsip-prinsip utama aswaja kendor, relasi-relasi antar kita merenggang, sehingga jarak hati semakin jauh, mudah terpancing konflik, sulit berhusnuzan dan lupa menghadapi konflik dengan ketenangan, kesabaran dan kasih sayang.

Di era digital ini, masyarakat dan ulama semakin terpolarisasi sehingga upaya bersama untuk mewujudkan cita-cita bersama yang baik menjadi semakin sulit.

Nah, cara-cara politik kekuasaan untuk menyelesaikan konflik atau perbedaan pendapat di JATMAN tidak tepat. JATMAN adalah organisasi ulama tasawuf, maka hendaknya diselesaikan dengan mengedepankan nilai-nilai tasawuf, yaitu persatuan, kasih sayang, menghindari perpecahan, pengendalian diri dan mempersempit benturan akar rumput yang lebih luas.

Akhlak Tasawuf dalam Menghadapi Konflik

Dalam tradisi tasawuf atau sufisme, ulama sering kali dihadapkan pada berbagai jenis konflik, baik internal dalam komunitas mereka maupun eksternal dengan masyarakat atau kekuasaan. Pendekatan mereka terhadap konflik sering kali mencerminkan prinsip-prinsip kesabaran, pengendalian diri dan kasih sayang.

Ulama tasawuf cenderung menghadapi konflik dengan kepala dingin, berusaha tetap tenang, tidak terburu-buru dan sabar. Kesabaran adalah kunci utama untuk mengatasi permasalahan.

Ulama tasawuf menghindari kekerasan fisik atau verbal, apalagi ghibah di medsos. Mereka memilih jalan untuk menyelesaikan perselisihan dan menekankan pentingnya perdamaian.

Konflik sering disebabkan oleh ego atau nafsu yang tak terkendali. Ulama tasawuf sangat menekankan pentingnya pengendalian ego untuk mencegah konflik, atau menyelesaikannya dengan cara yang mulia.

Beliau-beliau cenderung memberikan maaf kepada pihak yang berkonflik dengan mereka, bahkan jika mereka yang dirugikan. Kasih sayang dan keinginan untuk memperbaiki hubungan lebih diutamakan daripada pembalasan. Persatuan juga lebih diutamakan dari mendapatkan kekuasaan.

Bahkan para ulama tasawuf lembih memilih tidak menjadi pengurus ini atau itu, yang penting ulama dan umat tetap bersatu. Kalau ditunggu dengan sabar, pasti ada kesempatan juga.

Ulama tasawuf seringkali menyadari bahwa manusia memiliki keterbatasan dalam memahami kehendak Tuhan. Beliau beliau percaya bahwa dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, solusi atas permasalahan akan datang dengan cara yang lebih baik.

Demikianlah ulama tasawuf lebih focus pada cara-cara yang mendamaikan dan penuh hikmah dan menghadapi konflik, menghindari pertikaian yang merusak hubungan antar sesama, apalagi antar ulama tarekat.

Pendekatan Ulama Tasawuf Terdahulu Terhadap Konflik

Berikut adalah beberapa ulama tasawuf terkenal dan cara mereka menghadapi konflik:

1. Jalaluddin Rumi (1207-1273). Pendekatan beliau terhadap konflik adalah Kearifan dan Keseimbangan. Jalaluddin Rumi dikenal dengan ajarannya tentang cinta dan toleransi. Dalam karya-karyanya, seperti "Masnavi", Rumi sering menekankan pentingnya pengendalian diri dan melihat konflik sebagai kesempatan untuk memahami diri sendiri dan orang lain lebih dalam. Dia mengajarkan bahwa cinta dan pemahaman bisa menyembuhkan perpecahan dan konflik.

2. Ibn Arabi (1165-1240). Pendekatan beliau terhadap konflik adalah Kosmopolitanisme Spiritual. Ibn Arabi, seorang mistikus dan filsuf Sufi terkenal, menghadapi konflik dengan pendekatan kosmopolitan dan universal. Dia menekankan pentingnya memahami dimensi spiritual dari konflik dan melihat setiap konflik sebagai bagian dari perjalanan spiritual yang lebih besar. Dalam karya-karyanya, seperti "Futuhat al-Makkiyya", Ibn Arabi berbicara tentang kesatuan dan keterhubungan segala sesuatu, yang membantunya menghadapi konflik dengan pandangan yang lebih luas.

3. Al-Ghazali (1058-1111). Pendekatan beliau dalam menghadapi konflik adalah pendekatan filosofis dan logis. Al-Ghazali adalah seorang ulama yang terkenal dengan pendekatan rasional dan spiritualnya. Ketika menghadapi konflik, baik dalam konteks pribadi maupun akademis, ia sering menggunakan pendekatan logis dan reflektif untuk mencari solusi. Karyanya "Ihya Ulumuddin" mengajarkan pentingnya introspeksi dan pemahaman mendalam tentang hakikat diri dan hubungan dengan Tuhan untuk menyelesaikan konflik.

4. Syekh Abdul Qadir al-Jilani (1077-1166). Pendekatan beliau terhadap konflik adalah kesabaran dan integritas. Syekh Abdul Qadir al-Jilani, pendiri tarekat Qadiriyah, dikenal karena pendekatannya yang penuh kesabaran dan keadilan. Dalam menghadapi konflik, ia mengajarkan pentingnya kesabaran dan integritas. Dalam karya-karyanya, seperti "Futuh al-Ghaib", beliau menekankan pentingnya menghadapi konflik dengan ketenangan, kesabararan dan tekad untuk memecahkan masalah secara bermartabat.

5. Syekh Nuruddin Ar-Raniri (1602-1658). Pendekatan beliau terhadap konflik adalah dialog dan pendidikan. Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, seorang ulama dan pemikir Sufi dari Aceh, menghadapi konflik dengan pendekatan dialog dan pendidikan. Dalam karyanya, "Tafsir al-Mazhari", beliau mendorong pendekatan dialogis dan edukatif untuk menyelesaikan perbedaan dan konflik dalam masyarakat.

Jadi, ulama tasawuf cenderung menghadapi konflik dengan pendekatan yang mengutamakan pengendalian diri, kesabaran, pemahaman spiritual dan kasih sayang.

Beliau-beliau sering melihat konflik sebagai kesempatan untuk berkembang secara pribadi dan spiritual serta untuk meningkatkan pemahaman, pengendalian diri dan kasih sayang di antara individu dan kelompok. Pendekatan mereka dapat memberikan wawasan berharga tentang cara menangani konflik dengan cara yang konstruktif dan harmonis.

Konflik di JATMAN

Karena JATMAN adalah organisasi tasawuf, konflik yang ada di JATMAN hendaknya diselesaikan dengan adab tasawuf, yaitu pendekatan yang lebih mengutamakan kesabaran, kasih sayang, persatuan dan pengendalian diri.

Penyelenggaraan muktamar tandingan, atau mungkin penunjukan oleh PBNU tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tasawuf dan akhlak mulia. Ada pihak yang disakiti, kesalahpahaman akan lebih besar, relasi makin melemah, hubungan semakin jauh, akar rumput ditarik-tarik dalam konflik.

Beberapa upaya yang dilakukan beberapa kiai agar PBNU mengambil alih atau dengan kata lain mem-MLB JATMAN saja sudah membuat keresahan dan perpecahan, bukan hanya antar ulama tarekat tapi juga di kalangan umat.

Lebih baik menunggu mekanisme dan tata tertib organisasi yang sudah ada, dialog, musyawarah dan silaturahmi untuk mencegah konflik dan perpecahan yang lebih besar, yang melibatkan para pendukung.

Keuntungan yang didapat dari muktamar tandingan atau penunjukan oleh PBNU jauhlah lebih kecil daripada madharat yang diperoleh.

Menjaga persatuan dan kasih sayang diantara ulama, mencegah gesekan antar pendukung dan akar rumput jauh lebih penting dari pada pergantian tanpa melalui mekanisme yang semestinya.

Biarlah beliau-beliau terpilih melalui jalur muktamar yang semestinya sehingga semua pihak tetap tenang.

Apalagi muktamar JATMAN tinggal nunggu beberapa saat lagi setelah pelantikan presiden. Hanya kurang lebih 1 bulan.

Alasan untuk menyelenggarakan muktamar tandingan atau mungkin penunjukan langsung oleh PBNU sebagaimana berita yang beredar dengan alasan demisioner juga tidak tepat.

JATMAN baru demisioner sejak September 2023 dan sudah mengajukan surat permohonan ke PBNU untuk bermuktamar setelah pelantikan presiden sejak Agustus 2023. Ansor di Jaman Gus Yaqut bahkan sudah demisioner 4 tahun. Yaitu sejak tahun 2000. Baru tahun 2024 diadakan pemilihan. Yang penting alasan pengunduran adalah alasan yang masuk akal.

Pihak-pihak perlu bersabar, tidak perlu terburu-buru untuk segera memperbaiki organisasi menurut pikiran kita, tinggal menunggu waktu saja, kalau sudah saatnya pasti ada waktunya. Setiap orang mempunyai style sendiri-sendiri dan tidak bisa atur-atur menurut pikiran kita.

Kita perlu menghormati tata tertib yang sudah ada dan pimpinan yang sah, yang sudah banyak sekali jasanya. Jangan hanya kekurangan sedikit kemudian menjadi alasan untuk menyingkirkannya atau menganggapnya tidak ada. Itu bukan akhlak Nahdhatul Ulama yang sangat menghargai sesepuh dan orang tua.

Bagaimanapun perbedaan pendapat kita, ulama dan sesepuh harus kita hormati. Apalagi siapa yang akan memuliakan ulama selain para ulama sendiri. Sehingga kalau ulama memuliakan ulama, maka umat pasti akan memuliakan ulama.

Apalagi apa yang sudah berlangsung selama ini ada pihak-pihak yang sengaja mengadu domba dengan sasaran melemahkan NU, melemahkan ulama bahkan melemahkan aswaja dan Islam di Indonesia.

Hendaknya para pihak bersabar, mengutamakan persatuan dan menggunakan jalur-jalur yang sesuai tata tertib, sehingga kesalahpahaman bisa dikurangi, relasi bisa didekatkan, perpecahan antar umat dan ketidakpercayaan umat pada ulama bisa dihindari.

Hanya melalui persatuan, silaturahmi dan kasih sayang, keburukan bisa kita hindari dan kebaikan bisa kita capai.

Apalagi tantangan kedepan sangatlah besar, yaitu instabilitas geopolitik dunia, perubahan iklim radikal yang mengancam kedaulatan pangan, gejolak ekonomi yang menciptakan instabilitas dan kenaikan harga-harga pangan, disrupsi dijital yang mennggoncang nilai-nilai dan otoritas-otoritas agama, megathrust, belum lagi upaya adu domba baik dari dalam negeri maupun dari luar, pelemahan terhadap negara-negara muslim setelah peristiwa genosida Gaza, semua bisa menimbulkan ancaman yang serius bagi umat, aswaja, dan Indonesia sebagai bangsa.

Semua tantangan diatas hanya bisa diatasi dengan persatuan antar ulama. Apalagi ulama tariqah adalah benteng terakhir umat Islam Indonesia dan ahlus sunnah wal jamaah sehingga harus lebih tahan dari adu domba dan menjadi contoh akan persatuan dan kesatuan umat.

Dengan persatuan dan kesabaran, tujuan-tujuan yang diinginkan pihak-pihak yang ingin perbaikan lebih bisa tercapai.

Sumber | JATMAN Online

Tag Terpopuler

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top