Halim Ambiya, Ustadnya Anak Jalanan

Ustad Halim Ambiya di sela-sela pengajian di Pesantren Tasawuf Underground yang ia dirikan sebuah ruko di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (19/12/2020). Pesantren itu menampung puluhan anak punk dan anak jalanan. Foto: KOMPAS/BUDI SUWARNA
Halim Ambiya pernah diselamatkan anak punk dalam sebuah kerusuhan di Thailand. Sebagai bentuk terima kasihnya, sang ustad mendirikan Pesantren Tasawuf Underground yang menampung anak punk dan anak jalanan.

Saat sebagian orang cenderung menghindari anak jalanan, Halim Ambiya (46 tahun) justru mendekatinya. Mereka diajak membersihkan diri, mengaji Alquran, dan mengembangkan potensi kreatif masing-masing. Inilah jalan “tasawuf” yang merangkul kelompok masyarakat terpinggirkan.

“Afdhalul jihaadi an yujaahidur rajulu nafsahu wa hawaahu.” Halim Ambiya mengucapkan kalimat ini dengan suara lantang. Dia berdiri sembari menunjuk tulisan Arab di papan tulis. Dandanannya santai: celana jins biru, kemeja putih lengan panjang, dan peci Afghanistan warna hijau. Jenggot tipis menutupi dagu.

Di hadapan Halim, duduk rapi 20-an pemuda. Penampilan mereka juga santai. Ada yang mengenakan kain batik rapi, kemeja, peci, atau pakai kaos oblong saja. Sebagian mereka bertato di beberapa bagian tubuhnya. Ada juga yang berambut gondrong sebahu. Mereka serempak menirukan ucapan Halim berulang-ulang sampai hadis riwayat Ad-Daelami itu nempel di kepala. Untuk mengecek hafalan, satu per satu bergantian melafalkannya. Jika ada salah ucap, Halim langsung memperbaiki.

“Jihad yang paling utama adalah seseorang yang berjuang melawan dirinya dan hawa nafsunya.” Halim menerangkan arti hadis itu, dan para santri kembali menirukannya bersama-sama.

Ustad Halim Ambiya di sela-sela pengajian di Pesantren Tasawuf Underground yang ia dirikan di sebuah ruko di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (19/12/2020). Pesantren itu menampung puluhan anak punk dan anak jalanan. Foto: KOMPAS/BUDI SUWARNA

“Jadi, jihad itu tidak selalu angkat senjata, perang. Menuntut ilmu juga jihad. Jihad paling besar, menawan hawa nafsu, ingin mabuk, ngelem, narkoba,” kata Halim melanjutkan penjelasannya. Para santri menyimak dengan muka serius. Beberapa sambil menuliskan catatan di buku.

Begitulah rutinitas komunitas Tasawuf Underground yang didirikan dan dipimpin Halim. “Tasawuf” merujuk pada kegiatan mengaji ajaran Islam dengan menekankan laku spiritual untuk membersihkan jiwa dan pikiran. “Underground” lantaran pendekatannya tidak lazim, terutama merekrut anak jalanan yang terbiasa hidup dan mencari nafkah di jalanan, dan anak punk yang menjadikan jalanan sebagai panggung berekspresi.

Suasana pengajian gayeng dan hangat di lantai dua sebuah rumah toko (ruko) di kawasan Pasar Cimanggis, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (19/12/2020) sore. Ruangan itu sungguh hidup dengan interior bernuansa coklat. Beberapa gebyok (pintu kayu) didirikan di beberapa pojok. Satu bidang dinding dipenuhi potongan-potongan kayu dan ditempeli tulisan besar, “Tasawuf Underground.”

Komunitas itu memang bermarkas di ruko tiga lantai. Sebagian menyebut tempat itu pesantren anak-anak punk. Lantai satu difungsikan untuk usaha laundry dan warung angkringan yang dijalankan anggota komunitas atau santri. Lantai dua untuk majelis pengajian. Lantai tiga, yang dilengkapi lemari-lemari pakaian, menjadi tempat tinggal anak punk yang menjadi santri.

Hingga kini, sudah 120-an anak jalanan dan punk bimbingan komunitas ini. Sebagian telah “lulus”: kembali ke keluarga di rumah, mandiri dengan mengembangkan usaha sendiri, atau melanjutkan pendidikan sampai bangku kuliah. “Kami membantu mereka lepas dari jalanan dan menemukan peta jalan pulang,” kata Halim usai pengajian.

Sekarang, saya hidup sehat, tenang, bisa baca Alquran. Dulu, tiap bangun, saya sarapan dengan alkohol, hampir tidak pernah makan nasi

Alih-alih menggunakan istilah taubat, Halim lebih suka menggunakan istilah peta jalan pulang, baik pulang ke keluarga atau pulang ke jalan Tuhan. Ia menunjuk Deny Putranto (32 tahun) yang hadir di pengajian sore itu. Berhasil meninggalkan kehidupan di jalanan beserta semua sisi gelapnya, kini pemuda asal Klaten, Jawa Tengah itu tinggal di ruko tersebut, rutin mengaji, sambil bekerja paruh waktu.

“Sekarang, saya hidup sehat, tenang, bisa baca Alquran. Dulu, tiap bangun, saya sarapan dengan alkohol, hampir tidak pernah makan nasi,” katanya mengenang.


Dari kolong jembatan

Bagaimana asal muasal Tasawuf Underground? Ceritanya begulir seiring perjalanan hidup Halim. Selepas nyantri di Pesantren Gading Kroya, Cilacap, Jawa Tengah, dia ambil kuliah di Jurusan Akidah dan Filsafat Institut Agama Islam Negeri, sekarang Universitas Islam Negeri (UIN), Jakarta. Pada akhir kuliah, dia juga nyambi bekerja sebagai wartawan. Pemuda itu lantas melanjutkan studi master di Jurusan Sejarah Peradaban Islam, ISTAC-Universitas Islam Antarbangsa (UIA) Kuala Lumpur, Malaysia.

Suasana pengajian komunitas Tasawuf Underground di sebuah ruko di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (19/12/2020). Halim Ambiya, sang penggagas komunitas lantas mendirikan pesantren Tasawuf Underground yang menampung puluhan anak punk dan anak jalanan. Foto: KOMPAS/BUDI SUWARNA

Suatu ketika, saat masih tinggal di Malaysia, Halim bepergian dengan naik bus untuk memenuhi undangan diskusi di Bangkok, Thailand. Di tengah jalan, tiba-tiba meletup kerusuhan. Entah bagaimana, segerombolan preman menyerangnya. Untunglah, seorang anak punk menariknya untuk bersembunyi di bengkel. “Sejak saat itu, saya merasa berutang budi pada anak punk,” kenangnya.

Pulang ke Tanah Air, Halim mengajar di UIN Jakarta sambil mengedit sejumlah buku. Dia juga merintis percetakan dan penerbitan, Salima Publika, dengan menyewa kantor di satu ruko di Pisangan, Ciputat Timur, Tangerang Selatan. Sebagian buku terbitannya bertema tasawuf, kajian spiritualitas Islam.

Beberapa cuplikan kajian tasawuf itu juga diunggah di media sosial. Ternyata, banyak orang juga menyukainya, terutama kalimat-kalimat hikmah dari tokoh-tokoh sufi seperti Al Ghazali atau Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani. Halim pun kerap diundang untuk memberi ceramah di berbagai tempat, termasuk di kafe-kafe. Beberapa anak punk turut hadir.

Pengalaman diselamatkan anak jalanan di Bangkok mendorong Halim untuk fokus mendekati kelompok terpinggirkan ini. “Masjid kadang mencari sumbangan di jalan. Tapi, ketika ada anak jalanan masuk masjid, malah dicurigai. Padahal, di antara mereka, ada yang benar-benar ingin bertaubat,” katanya.

Tahun 2017, Halim coba menggelar pengajian di bawah kolong jembatan di depan Stasiun Tebet, Jakarta Selatan. Dua kali sepekan, Jumat dan Sabtu, kegiatan ini diikuti sejumlah anak jalanan dan punk. Mereka diajari membaca Alquran, dikenalkan cara berwudhu, shalat, dan menyelami hikmah-hikmah tasawuf yang mendorong orang menjadi manusia yang lebih baik.

“Sebelum mengaji, saya ajak anak-anak bersih-bersih dulu, mandi, dikenalkan ‘thaharah’. Baru kemudian kita belajar shalat. Lalu, bercerita hikmah sufi yang ringan-ringan, tapi menyentuh,” paparnya.


Kami bisa fly tanpa perlu ngelem atau pakai narkoba

Kegiatan itu kian populer. Beberapa anak jalanan mengunjungi rumah Halim demi dapat mengaji Islam lebih serius. Mereka lantas ditampung dan tinggal di kantor penerbitan dan percetakannya di Ciputat Timur. Kegiatannya kemudian lebih bervariasi. Suatu kali, mereka diajak ziarah ke makam wali atau zikir pada malam hari. Kali lain, mereka melantunkan shalawat Nabi dalam nyanyian dan iringan musik pop yang asyik. “Kami bisa fly tanpa perlu ngelem atau pakai narkoba,” tutur Halim tersenyum.

Dengan nama Tasawuf Underground, komunitas ini juga getol mengunggah kegiatannya di akun-akun media sosial, terutama di Facebook, Youtube, dan Instagram. Masing-masing akun itu diikuti puluhan ribu sampai ratusan ribu warga internet.


Diajak duel

Tak mudah membimbing anak jalanan. Bagaimanapun, mereka terbiasa hidup di jalanan dengan segala kelonggarannya. Belum lagi sebagian akrab dengan alkohol dan zat psikotropika. Tak sedikit mereka yang kecanduan psikotropika dan terikat jaringan peredarannya.

Mengeluarkan mereka dari jalanan berarti berhadapan dengan jaringan yang mengikatnya. Bandar bersama kaki tangannya itu sering mati-matian mempertahankan pelanggan atau anak buahnya. Halim acap mengadapi masalah macam ini. Dia pernah diintimidasi, didatangi preman, diajak duel, bahkan diancam dengan pedang samurai atau badik.

“Saya tidak meladeni berkelahi. Bisa mati saya. Pakai strategi,” katanya sambil tersenyum. Salah satunya, Halim membangun jaringan dengan kepolisian, dinas sosial, dan lembaga bantuan hukum. Jika ada masalah, jaringan itu memberikan sokongan keamanan dan advokasi hukum termasuk pada anak jalanan.

Salah satu ornamen di Pesantren Tasawuf Underground yang didirikan Halim Ambiya di sebuah ruko di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (19/12/2020). Pesantren itu menampung puluhan anak punk dan anak jalanan. Foto: KOMPAS/BUDI SUWARNA

Soal biaya kegiatan, komunitas Tasawuf Underground mendapatkan bantuan dari sana-sini. Ruko di Ciputat, misalnya, dapat ditempati berkat uluran tangan sukarelawan. Bantuan juga berupa tenaga pengajar. Ada saja orang yang mau berbagi ilmu dan pengalaman, mulai dari mahasiswa, dokter, sampai perwira tentara dan polisi.

Tantangan terberat tentu saja pada proses membimbing anak jalanan yang terbiasa hidup bebas, punya jiwa memberontak, bahkan tehadap orangtuanya. Untuk mengatasi problem ini, perlu pendekatan yang cair dan lembut. Halim pun lebih memposisikan diri sebagai sahabat ketimbang penceramah dengan segudang nasihat.

Pertemuan awal lazimnya banyak dihabiskan dengan ngobrol sambil minum kopi. Setelah merasa nyaman, anak-anak diberi cerita-cerita sederhana yang menggugah. Contohnya, kisah-kisah teladan dari para sufi yang menyiratkan semangat ikhlas, tawakkal, belajar, sabar, atau ridha. Begitu batinnya tersentuh, tumbuh komitmen untuk belajar dan memperbaiki diri.

Mereka umumnya menyukai dzikir karena ritual ini menenangkan. Setelah diperkenalkan makna shalat, sebagian mengaku bisa shalat khusyuk karena menemukan kedamaian. “Nyaris tidak pakai nasihat, saya mengajak anak-anak untuk menjalani hidup yang lebih produktif, lebih sehat. Juga dikasih contoh,” kata Halim.

Anak jalanan itu juga diperkenalkan pada usaha-usaha produktif. Mereka diajak mengelola usaha laundry dan warung angkringan. Pernah juga mereka diajak menjajal usaha-usaha lain hasil kerja sama dengan pengusaha sablon, desain, atau kedai kopi.

Semangat wirausaha ditumbuhkan agar mereka lebih berdaya secara ekonomi. Jika sudah mandiri, mereka akan memiliki daya tahan sehingga tidak mudah tergoda kembali ke jalanan.

Usaha angkringan yang dijalankan oleh anak punk yang sempat hidup di jalan di Pesantren Tasawuf Underground di sebuah ruko di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (19/12/2020). Pihak pesantren berusaha memberdayakan santrinya dengan mengajarkan mereka menjalankan usaha seperti angkringan dan binatu (laundry). Foto: KOMPAS/BUDI SUWARNA


Halim Ambiya

Lahir: Indramayu, 12 Juli 1974

Pendidikan:

Pondok Pesantren Gading Kroya, Cilacap, Jawa Tengah

S-1 Jurusan Akidah dan Filsafat, IAIN/ UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

S-2 Jurusan Sejarah Peradaban Islam, ISTAC-Universitas Islam Antarbangsa (UIA) Kuala Lumpur.

Aktivitas saat ini:

Direktur Salima Publika, Penerbit buku-buku keislaman

Pendiri dan Admin Komunitas Tasawuf Underground

Pengasuh Pondok Pesantren Tasawuf Underground. Sebuah pesantren yang membina anak-anak Punk dan jalanan di sekitar Jabotabek.

Pengalaman kerja:

Wartawan Jawa Pos Group (1998-2000)

Freelance Editor (Mizan, Republika, Rakyat Merdeka dan Penerbit Buku Kompas) 20092012

Staf Pengajar Fakultas Tarbiyah UIN Jakarta 2007-2012

Redaktul Pelaksana Majalah Rakyat Merdeka 2009-2010

Direktur Salima Publika 2012- sekarang

Admin Tasawuf Underground 2012- sekarang

Pengasuh Pondok Pesantren Tasawuf Underground 2018- sekarang.

Buku: Novel “Sor-Baujan ” (diterbikan secara virtual di Wattpad)

Oleh: ILHAM KHOIRI DAN BUDI SUWARNA

Editor: MARIA SUSY BERINDRA


Sumber : Kompas.id

Tag Terpopuler

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top