Memahami Esensi Waktu dalam Membangun Nilai Spiritual

Allah Ta’ala berfirman;

  والعصر [١] إن الإنسن لفى خسر [٢] إلا الذينءامنوا وعملواالصلحت وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر [٣]

1. Demi masa.2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,  Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. [QS. Al-Ashar; 1-3]

Allah mengabadikan “waktu” didalam surah Al-Ashar. Istilah waktu didalam ayat diatas dinamakan Masa. Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani didalam Tafsir Al-Jaelnai menafsirkan istilah  [demi masa] “Allah bersumpah dengan masa dan Waktu untuk mengungkapkan kekalnya Wujud Azali Yang Abadi dan eksistensinya yang tidak akan musnah. [Sesunggunya manusia] secara fitrah diciptakan dalam keadaan makrifat dan beriman sesuai dengan bagian Lahut [ketuhanannya]. [itu benar-benar berada pada kerugian] yaitu kerugian yang besar dan kegagalan yang nyata, dimana kerugian tersebut disebabkan oleh tindakannya yang menyibukkan diri dengan kebutuhan-kebutuhan kemanusiaan yang tidak bermanfaat baginya. [kecuali] orang-orang yang yakin, [yang mengimani] Wahdatul Al-Haq [Keesaan Allah Swt] dan memahami kebebasan-Nya dalam semua perbuatan yang berlaku pada kerajaan dan kekuasaan-Nya dan bersamaan dengan keimanan dan ketundukkan itu, mereka juga [mengerjakan amal-amal shalih]. Yang menunjukkan keikhlasan, keyakinan dan niat mereka dan bersamaan itu pula, mereka saling [nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran]. Maksudnya sebagian mereka saling berwasiat kepada sebagian yang lain untuk menempuh jalan kebenaran [Thariqoh Al-Haq] dan men tauhidkan-Nya.[i]

Penafsiran diatas merupakan sebagai bentuk tafsir isyari sufi, menjelaskan tentang hukum waktu yang telah diciptakan Allah. Menentang hukum waktu atau hukum zaman adalah maknanya tidak mau menerima ketentuan-ketentuan Allah dan inilah dikatakan manusia itu benar-benar dalam kerugian. Secara syariat, mereka disibukkan dengan tergelimang dalam maksiat sehingga mereka tidak memanfaatkan waktu dengan baik. sedangkan  Secara hakikat difahami kerugian disini Mereka [orang-orang Islam] disibukkan  ter hijab nya dirinya dari tajalli Allah dan terhijab dari selain Allah.

Kita hidup di dunia yang fana ini tidak terlepas dari perjalan waktu yang terus berputar dan berjalan dari saat ke saat, hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, tahun ke tahun sampai kita meninggal, berangkat dari dunia yang fana kepada akhirat yang baqa. Maka dari itu kita harus dapat mengetahui waktu. Waktu adalah tempat kejadian sesuatu dimana sesuatu itu zahir dari yang ghaib kepada syahadah [yang fizkal], maka dikatakan insan itu anak waktu. Insan disini adalah para ahli sufi atau para salikin yang sedang berjalan menuju Allah.

Syaikh Al-Imam Muhyiddin Ibnu Arabi di dalam kitab Al-Futuhat Al-Makkiyah berkata;

فإن قلت : و ما الوقت ؟ قلنا : ما أنت به من غير نظر إلى ماض و لا إلى مستق هكذا حكم أهل الطريق 

Jika engkau bertanya: “Dan apa arti waktu?” Kami jawab: “Sesuatu yang engkau berada di dalamnya tanpa engkau melihat pada masa lalu maupun masa depan.” Begitulah, para peniti jalan Tuhan menilai waktu.[ii]

Syaikh Al-Imam Sayyidi Najmuddin Al-Kubra, didalam Kitab  Fawa’ih Al-Jamal wa Fawatih Al-Jalal menjelaskan

الصوفي ابن الوقت ؛ لأنه يدور مع الوقت كيفما كان ولا ينظر إلى ما مضى ولا إلى المستقبل لأن نظره إلى الماضي والمستقبل يضيع عليه الوقت  

Sufi adalah putra sang waktu. Sebab, ia selalu berjalan bersama waktu sebagaimana adanya. Ia tidak melihat masa lalu maupun masa depan. Sebab baginya, melihat masa lalu maupun masa depan akan membuang-buang waktu.[iii]

Al-Imam Abul Qasim Ibn Hawazin Al-Qusyairiy di dalam kitab Risalah Al-Qusyairiyah menjelaskan

حقيقة الوقت عند أهل التحقيق حادث متوهم علق حصوله على حادث متحقق فالحادث المتحقق وقت للحادث المتوهم.

أي كما أن السيف قاطح فالوقت بمايمضيه الحق ويجريه غالب.  السيف لين مسه قاطح حده فمن لابنه سلم ومن خاشنه اصطلم كذلك الوقت من استسلم لحكمه نجا ومن عارضه انتكس وتردي .

Esensi waktu/time (Al waqt) menurut ahli hakikat adalah sesuatu yang terbayang kan. Yang hasilnya dikaitkan pada peristiwa yang akan terjadi. Peristiwa yang terjadi merupakan waktu peristiwa yang akan datang.

Waktu adalah pedang sebagaimana fungsi pedang itu sendiri untuk menebas. Maka waktu yang disebabkan pada kebenaran yang berlalu yang memenangkan kebenaran yang melewatinya.

Pedang sangat halus sentuhannya, namun tajam sayatnya. Barangsiapa yg menghindarinya akan selamat dan barangsiapa yang melawan nya akan terbebas olehnya. Begitu juga waktu siapa yang mematuhi hukum waktu maka akan selamat. Barangsiapa lalai dan menentangnya akan terbebas dan jatuh dalam kehancuran.[iv]

Abuya Syech H. Amran Waly Al-Khalidi mengartikan waktu “Bagi ahli tasawuf waktu itu adalah tempat zahir waridat dan anwaar yaitu cahaya keberadaan Allah yang datang pada hati kita yang dapat kita untuk dekat dengan Allah dan melakukan amal-amal kebajikan dan ber akhlak mulia.”[v]

Demikianlah orang-orang arif yang bijak menilai waktu. Waktu adalah benda yang tidak berwujud namun waktu sangat berharga dan tidak dapat mendapatkan lagi, sebab pada waktu yang lain tidak didapatkan lagi ketika waktu itu telah luput dan berlalu[masa lampau]. Begitu pula sebaliknya waktu yang akan datang [masa depan] berupa cita-cita kebaikan yang ingin dicapai tidak akan dapat terwujud apabila waktu pada saat ini [masa sekarang] tidak dapat realisasikan dengan sebaik-baiknya maka cita-cita hanyalah menjadi angan-angan yang kosong dan sungguh merugi.

Adapun waktu pada saat ini kita jalankan tidak terlepas dari empat komponen waktu, yaitu:

1. Waktu ta’at, kita harus dapat menyaksikan ketaatan yang kita lakukan itu adalah pemberian Allah, maka kita manfaatkan waktu untuk dapat melihat kasih sayang Allah.

2. Waktu maksiat, kita harus dapat menyaksikan bahwa maksiat itu datang dari keburukan nafsu, dan  hawa kita yang dikuasai syaitan, maka kita manfaatkan waktu untuk bertobat dengan segera, menyesali kesalahan yang kita lakukan.

3. Waktu nikmat, kita harus dapat mensyukuri dan mempergunakan waktu nikmat kebaikan sesuai apa yang diridhai Allah.

4. Waktu bala dan musibah, kita harus dapat bersabar dan ridha dengan segala yang datang dari Allah yaitu Qudrah dan Iradah-Nya.

Apabila keempat komponen waktu itu dapat di aplikasikan dan direalisasikan dengan baik di dalam waktu seseorang itu berada di masa sekarang, maka orang itulah orang-orang yang beruntung sebagai yang di isyarahkan dalam surah al-ashr diatas dan maksud tafsir Syaikh Abdul Qadir  Al-Jaelan diatas, “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”

Maka oleh orang barat mengatakan “time is money” [waktu itu uang] yang dapat memberikan keuntungan jika dimanfaatkan. Sedangkan orang Arab mengatakan “Al-Waqtu Saifun” [waktu adalah pedang], Maka demikian pulalah waktu dengan kehendak-kehendak Allah yang berlaku pada waktu tertentu merupakan hakim [yang berjalan keputusan dan ketentuanNya].  Jadi maksudnya sebagaimana mata pedang yang dapat memutuskan sesuatu. Maka demikianlah kehendak dan ketentuan Allah dalam waktu dan zaman adalah menjadi hakim segala-galanya. Maka jangalah kita sia-siakan waktu dan umur yang kita berada di dalamnya. Maka dari itu  ulama-ulama sufi merekomendasikan kita untuk bershalawat dan berzikir sebanyak-banyaknya agar mendapatkan Waridat Al-Ilahiyyah supaya dapat bernafsu muthmainnah, hilang segala keburukan nafsu, dan was-was. Serta memperbanyak melakukan amal ibadah.

Wallahu a’lam bi shawwab

Ilahi anta maqshudi waridhaka mathlubi


Sumber : Jatman Online

[i] Abdul  Qadir Al-Jaelani, Tafsir Al-Jaelani  Jilid V, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, Beirut, hal  472

[ii] Muhyiddin Ibnu Arabi Al-Haitami, Al-Futuhatul Al-Makkiyah Bab 73, Dar Ihya Al-Thorats Al-Arabi Beirut

[iii] Najmuddin Al-Kubra, Fawa’ih Al-Jamal wa Fawatih Al-Jalal, Dar Nasirun, Beirut hal 60

[iv] Abul Qasim Ibn Hawazin Al-Qusyairiy, Risalah Al-Qusyairiya fi Ilmi At-Tashawwuf, Maktabah Al-Tawfikiyah, Al-Qaherah, hal 150-151

[v] Abuya Syech H. Amran Waly Al-Khalidi, Risalah Tauhid Tasawuf & Tauhid Shufi Abuyah Syaikh Amran Waly Al-Khalidi, Jilid 1, Darul Ihsan, Labuhan Haji, Aceh Selatan, hal 86

Tag Terpopuler

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top