Belajar Ma’rifat melalui Sesuap Nasi | Maulana Habib Luthfi

PEKALONGAN – Bagaimana peranan ma’firat kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala? Yang pertama, bila mana ma’rifah kita itu tumbuh, semakin tambah, kita akan mengetahui bagaimana tipu dayanya hawa nafsu. Tapi apabila ma’rifat kita kepada Allah Ta’ala ini melentur keyakinannya, melorot, kita mudah di ombang-ambingkan oleh peranan nafsu itu sendiri.

Contoh yang mudah saja, kalau kita habis makan itu biasanya mengucapkan Alhamdulillah. Ya sudah umum. Tapi ucapan Alhamdulillah itu karena kenyang, yang kedua kali “lego wis mangan”, sudah makan.

Tapi Alhamdulillah kita ini yang awam menemukan yang menciptakan kenyang atau tidak? Nembus atau tidak? Belum tentu. Makannya saja sudah kalah dengan nafsunya karena dituntut lapar.

Tapi kalau lapar itu terkendali oleh ma’rifat kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, nafsu itu sendiri bisa dikendalikan. Sehingga di dalam makan kita itu banyak membawa kita ibadah. Artinya kita selalu ingat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Contohnya, kalau makan, “Alhamdulillah”. Dari sebutir nasi ini ada yang mulai mencangkul, air, merabuk (memupuki) dan sebagainya, dan sebagainya, tidak cukup jadi beras sampai jadi nasi. Yang jadi nasi pun yang andil juga banyak. Mampu tidak kita menghormati yang ikut andil mematangkan nasi itu sendiri? Atau yang mencangkul sehingga menjadi beras? Panen.

Kalau kita tahu menghargai dan ma’rifat kita itu tambah, ternyata tanah ini kandungannya demikian, tanah ini kandungannya demikian. Mana yang harus kita tanami padi, mana yang tidak, mana yang harus ditanam di tanah ini, kalau cocok buat buah-buahannya akan luar biasa. Seterusnya sampai berkembang ma’rifat kita kepada Allah Ta’ala. Dengan melihat ciptaan-Nya, semakin keyakinan kita semakin tambah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kembali kepada satu suap nasi, ketika kita memasukkan sesuap nasi kita kenal kepada Allah artinya di mana? Kalau nasi ini masuk mau jadikan nasi, nanti keluar lagi nasi saja, nasi lagi, sah-sah saja kalau Allah Ta’ala menghendaki tidak ada yang sulit. Tapi satu suap nasi hingga sampai berapa suap sampai sepiring habis. Kita bisa tahu dimana? Bagaimana? Yang isinya organ tubuh itu kok bisa membagi (makanan yang disuap) bisa menjadi darah merah, bisa menjadi darah putih, dan lain-lainnya. Ini kerjasama antara pencernaan dengan pankreas, dengan ginjal dan lain sebagainya.

Padahal, kita itu dijadikan oleh Allah Ta’la lemah. Perut kita itu tidak ada tulangnya, ususnya tidak bertulang, pencernaannya pun tidak bertulang, pankreas pun ginjal pun tidak bertulang, tapi mengapa bisa mencetak yang demikian, yang demikian, yang demikian hingga menjadi darah putih, bisa mencetak insulin, dan lain sebagainya.

Ini ma’rifat, dari situ saja yang diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesuap nasi kita akan bertambah syukur, kita akan bertambah syukur kepada Allah Subhanhu Wa Ta’ala.

Tantangannya, bersyukur (atas) satu suap nasi itu mampukah atau tidak kita membawa untuk ta’at kepada yang menciptakan nasi dan memberikan kekenyangan itu sendiri, dan yang menciptakan yang makan. Apakah kita semakin jauh? Ataukah kita ini semakin dekat kepada yang menciptakan? Yang bisa meneruskan ya panjenengan semua ini, mau sampai atau tidak.

Oleh: Habib Muhammad Luthfi bin Yahya
Dikutip dari ceramahnya pada Dzikir dan Pengajian Rutin Jum’at Kliwon 1 November 2019

Tag Terpopuler

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top